Aku duduk termenung di kursiku sesaat setelah berkeliling kelas untuk mengecek kemampuan muridku dalam menyelesaikan tugas. Tak banyak kendala rupanya. Hanya beberapa murid yang masih butuh tambahan penjelasan. Hening. Mereka terlihat serius menyelesaikan tugasnya. Beberapa murid terlihat menggaruk kepala melihat bukunya. Namun, kemudian terlihat mengangguk‐anggukan kepalanya.
Waktu terus berjalan. Aku teringat dengan beberapa chat dari orang tua murid yang mengonsultasikan perihal anaknya. Dari chat itu, ada dua poin besar yang sama yaitu tentang salat dan ketaatan pada orang tua mereka di rumah. Mereka kadang begitu kesulitan untuk mengingatkan anaknya salat lima waktu. Jika dimintai tolong, juga sering membantah. Aku harus segera mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Kutarik napasku perlahan. Berusaha memenuhi rongga dadaku dengan udara yang cukup.
“Kalau sudah, dikumpul ya, Ustazah?” tanya Reski.
“Iya Nak, silakan dikumpulkan bagi yang sudah,” balasku.
Rupanya mereka sudah selesai mengerjakan tugas. Satu per satu mereka maju mengumpulkan tugasnya. Kulirik jam di dinding. Masih ada sekitar 15 menit waktu sebelum jam ishoma (istirahat, salat, dan makan). Sepertinya saat ini waktu yang tepat untuk menyampaikan nasihatku. Kali ini aku harus membahasnya dengan cara yang berbeda. Mereka sudah kelas enam. Mereka sudah bisa diajak berdiskusi tentang banyak hal. Walaupun yang akan kusampaikan ini adalah sebuah kewajiban, tetapi aku harus betul‐betul menekankan bahwa mereka melakukannya dengan penuh kesadaran.
Kali ini aku akan memulai dengan membahas tentang ke syukuran terlebih dahulu untuk mengantarkannya pada sebuah kewajiban. Sering sekali sebenarnya aku berusaha membuat mereka bisa paham akan arti ke syukuran. Walaupun aku masih belum yakin apakah mereka sudah betul‐betul paham atau masih jauh dari apa yang kuharapkan.
Terkadang aku masih bingung memahamkan mereka bahwa betapa Allah itu Maha Baik. Betapa Allah itu Maha Kaya. Betapa Allah telah menganugerahkan jasad yang tak ternilai harganya. Ya, aku masih perlu banyak perbendaharaan analog untuk sebuah pencapaian: mereka telah paham.
Aku menarik napas sembari meminta daya dari Sang Pemilik Kekuatan. Semoga saja upayaku kali ini bisa menjadi asbab mereka semakin paham.
“Anak‐anak, sebelum kita istirahat, ada hal penting yang Ustazah ingin diskusikan dengan kalian.” Mereka pun duduk
kembali ke bangku masing‐masing. Masih terdengar beberapa celoteh dari mereka. Terdengar pula suara cekikikan dari arah belakang. Aku bangkit dari dudukku. Kupandangi wajah mereka seteduh mungkin. Mereka memperhatikanku. Siap mendengarkan.
“Habil, jika saja Ustazah hari ini memberimu sebuah smartphone sejenis iPhone, apakah kamu senang?”
Dengan wajah semringah, Hanif menjawab, “Senanglah Ustazah…..” Disambut suara riuh teman‐temannya.
“Saya juga mau…!”
“Saya juga, Ustazah.”
Aku tersenyum melihat sorot mata yang berbinar‐binar dari mereka. Kembali kupandangi Habil. Menatap lekat wajahnya, aku melanjutkan,
“Apakah Habil merasa berterima kasih kepada Ustazah?”
“Iya Ustazah, sangat berterima kasih.”
“Baiklah… bagaimana jika Ustazah kembali memberimu laptop, rumah mewah, bahkan mall MP juga Ustazah berikan?”
Seisi kelas menjadi heboh. Mungkin mereka merasa lucu dengan pertanyaanku yang terkesan di luar nalar.
“Bagaimana Habil?” tanyaku kembali.
“Senang sekali Ustazah,” jawabnya tersenyum.
“Baik. Anggap saja ustazah memberikan itu semua kepada Habil. Terus, bagaimana sikapmu kepada Ustazah?”
“Saya akan hormat sama Ustazah. Karena saya berhutang budi atas segala kebaikan ustazah.”
“Baiklah. Jadi kamu akan berusaha untuk taat? Misalnya Ustazah mau minta tolong, apakah kamu mau menolong?”
Dengan mantap Habil menjawab, “Mau.”
“Ustazah kan sudah memberikan banyak hal kepada Habil, kira‐kira kalau Ustazah minta satu saja telinga Habil, Habilmau memberikannya?”
Seisi kelas melongo.
Mata Habil melotot. “Tidak mau, tidak mau.” Dengan menggelengkan kepalanya kuat‐kuat.
“Loh, mengapa? Bukankah Ustazah sudah memberikan harta?”
“Saya tidak mau cacat, Ustazah.”
“Atau begini saja, bagaimana kalau ditukar dengan satu jari Habil? Kan lebih kecil.”
“Tidak mau, Ustazah,” jawabnya tetap menggeleng.
Aku diam sejenak. Kuedarkan kembali pandanganku.
“Anakku… itulah betapa berartinya anggota tubuh kita. Tidak ada yang bisa menyamainya. Bahkan, harta sekalipun.”
Mereka terdiam.
“Anakku…. Apa yang kita miliki saat ini, jauh lebih berharga dibandingkan harta. Buktinya, kalian tidak mau menukar telinga bahkan jari kalian dengan harta. Sekarang ustazah mau tanya, siapa yang telah memberikan kita telinga?”
“Allah…,” jawab mereka serentak.
“Siapa yang telah memberikan kita tangan dan kaki?”
“Allah….”
“Siapa yang telah mengokohkan kaki kita sehingga dengannya kita mampu berjalan? Siapa yang telah memberikan kita mata? Siapa yang telah memberikan kita orang tua yang mencintai kita, siapa yang telah memberikan kita teman untuk saling menyayangi?”
“Allah….”
Aku berusaha mengalirkan chemistry positif dalam tatapanku.
“Anakku, jika memang Allah yang telah memberi kita segalanya. Apakah kita telah benar‐benar merasa berterima kasih pada‐Nya?”
“Berterima kasih dan bersyukur, Ustazah,” jawab mereka dengan mimik meyakinkan.
“Kalau memang kalian bersyukur, lalu mengapa untuk salat saja kalian masih harus diingatkan, bahkan terkesan kadang diminta beberapa kali baru kalian laksanakan?”
Mereka terdiam.
“Mengapa saat dimintai tolong oleh orang tua, kalian masih lebih sering berkata tidak? Mengapa kalian belum bisa mempertahankan amalan‐amalan saleh dalam keseharian kalian? Bukankah jika kita merasa berterima kasih kepada seseorang maka kita akan patuh terhadap kemauan orang itu? Bukankah kalian tahu bahwa Allahlah Yang Maha Memberi?”
“Nak, kesyukuran itu, saat kita mampu menunjukkannya dalam 3 hal. Di lisan kita, di hati kita, dan di segala perbuatan kita secara seimbang. Semoga kalian paham, Nak.”
Kuakhiri pembelajaran dengan memberikan beberapa penguatan lainnya. Aku berharap pembahasan kali ini bisa lebih membuka pemikiran mereka. Tak lama, terdengar suara bel pertanda waktunya ishoma.
Sumber: Rahmawati.2020. Puzzle Cinta sang Guru. Makassar: Penerbit Mediaguru