Dari balik jendela kantor, kutatap satu-satu titik hujan yang jatuh. Sudah sekitar 10 menit hujan reda. Hari pun semakin sore. Seharusnya aku sudah berada di rumah saat-saat seperti ini jika tidak terhalang hujan tadi. Alhamdulillah ‘ala kullihal. Hujan adalah rahmat, tidak patut menjadikannya sebagai penyesalan.
Riuh suara murid kembali terdengar di halaman sekolah. Menikmati permainan futsal yang sempat terhenti karena hujan. Mereka kembali berlarian menendang bola. Sorak-sorai suaranya memenuhi lapangan sekolah. Terlihat beberapa murid yang duduk di teras dengan tatapan tak berkedip memandangi bola yang ditendang kiri dan kanan.
Tidak hanya permainan futsal saja, ada juga permainan lain yang tidak kalah serunya. Di sudut lapangan tampak beberapa murid sedang bermain kelereng yang suaranya juga terdengar ramai. Di teras depan kelas tampak murid bergerombol bermain ceper yang terbuat dari tutup botol. Di bawah pohon ketapang duduk beberapa murid yang tatapan matanya menyiratkan kelelahan. Sesekali matanya menengok ke arah pintu gerbang. Berharap penjemputnya segera datang. Barangkali ia sudah rindu dengan suasana rumahnya.
Begitulah suasana sekolah setelah pulang. Sambil menunggu penjemput, murid-murid putra mengisi waktunya dengan bermain. Sekadar untuk mengisi waktu sambil menunggu orang tua atau penjemputnya datang. Kulihat beberapa muridku kelas VI juga ada di antara mereka sedang asyik bermain futsal.
Jam sudah menunjukkan pukul 17.00 WITA. Dengan langkah sedikit tergesa, kubereskan barang-barangku. Bersiap untuk pulang. Kumatikan laptop yang di layarnya masih terpampang jelas ketikan perangkat pembelajaran yang belum sepenuhnya rampung. Insyaallah akan dilanjut lagi besok. Terbayang sudah suara bocah-bocahku yang menunggu di rumah. Menarik-narik ujung jilbabku saat tiba di depan pintu. Bertanya adakah camilan yang kubawa untuk mereka. Ah, selalu ada kerinduan mendalam kepada bocah-bocah yang menggemaskan seperti mereka.
Baru saja aku membawa motor keluar dari parkiran, tiba-tiba saja Bu Erika datang. Beliau ibu dari Zacky, muridku di kelas VI. Tampaknya ia bingung karena tidak melihat Zacky di area sekolah.
“Ustazah, Zacky ke mana ya? Sudah dari tadi saya di sini mencari tapi saya tidak menemukannya.” Ucapnya sambil celingak-celinguk mengedarkan pandangannya di antara murid-murid yang sedang bermain futsal.
“Oh, tadi ada kok, Bu! Zacky dan beberapa temannya tadi bermain futsal di sini. Tunggu sebentar, saya panggilkan lewat pelantang, ya, Bu! Mungkin dia sedang ke kantin atau keluar untuk beberapa keperluan.” Ujarku sambil bergegas ke kantor guru.
Sudah beberapa kali nama Zacky terdengar dari alat pengeras suara sekolah, tetapi Zacky tak tampak batang hidungnya. Suara pelantang ini cukup keras. Suaranya memenuhi seluruh area gedung sekolah, baik kelas putra ataupun kelas putri. Kami menunggu. Lima menit. Sepuluh menit. Zacky tak kunjung datang.
Ibunya semakin gelisah. Tampak ia berbicara dengan opanya Zacky melalui ponsel. Bu Erika mengira bahwa opa menjemput Zacky lebih dulu. Namun ternyata opa tidak menjeput Zacky sore ini. Aku pun ikut gelisah. Tidak biasanya Zacky menghilang seperti ini. Dia selalu standby di area sekolah ketika pulang. Karena sering kuberpesan kepada murid bahwa jangan ke mana-mana setelah pulang. Tunggu penjemput di sekolah agar penjemput tidak kesulitan mencari.
Beberapa guru dan security kutanyai tentang keberadaan Zacky. Siapa tahu saja mereka melihatnya. Namun mereka pun tidak mengetahui. Security mengatakan bahwa beliau tidak melihat Zacky keluar pagar. Namun, memang tadi, security sempat ke toilet beberapa lama. Kemungkinan saat itulah dia keluar tanpa dilihat olehnya.
Kucoba bertanya pada Adi yang masih bermain futsal. Dia mengatakan bahwa sudah dari tadi Zacky keluar dari permainan futsal. Dia pun tidak memberitahukan ke mana Zacky pergi.
“Sapatau pergi main game, Ustazah. Pernah kuliat adai di warnet yang dekat lampu merah. Karna tadi sempat na ajakka ke sana. Cuma hujanki jadi tidak jadimi ki ke sana.”
Tak butuh waktu lama berpikir, aku mengajak Adi untuk mengantarku ke warnet yang dia maksud. Kupakai helmku, kuminta ia naik di boncenganku. Tak kupedulikan lagi niatku untuk pulang. Keberadaan Zacky saat ini harus kuketahui. Tanpa menunggu aba-aba, Bu Erika pun mengendarai motor scoopynya mengikutiku dari arah belakang.
Sampai di jalan raya, laju motor kupelankan. Rupanya macet. Jalanan becek akibat sisa-sisa hujan yang masih menggenang di jalan yang tidak rata. Kularikan motorku sesuai arahan Adi. Dekat traffic light siktar 100 meter dari sekolah kulihat ada spanduk besar bertuliskan nama warnet. Kami singgah di situ. Menanyai pemilik warnet. Nihil. Tak ada Zacky di sana. Adi kemudian mengajakku ke warnet lainnya yang berjarak sekitar tiga ruko dari warnet pertama. Sama. Hasilnya juga nihil.
Bu Erika yang mengikuti kami tampak semakin gelisah. Kubuka ponselku, mencoba mengecek di grup whatsapp orang tua murid. Siapa tahu, Zacky ikut pulang ke rumah salah seorang temannya. Beberapa menit grup itu masih sunyi. Belum ada tanggapan. Mungkin karena ini sudah sore, banyak orang tua yang sudah istirahat di rumah sehingga tidak sempat membuka ponsel. Atau bisa jadi masih banyak di antara mereka yang sedang otewe menuju kediaman mereka.
Keringat mulai mengucur di keningku. Haus pun datang menghampiri. Adi terlihat bersandar di depan ruko sesekali matanya menengok ke dalam warnet. Sepertinya dia tetap berharap Zacky ada di dalam. Kutarik nafasku pelan.
Ting. Ting. Terdengar suara notifikasi grup. Benar saja, sudah banyak masuk chat di grup menjawab pertanyaanku tadi. Namun lagi-lagi aku kecewa, karena dari sekian banyak chat, tak satu pun yang tahu keberadaan Zacky. Kuajak Bu Erika kembali ke sekolah. Kugamit tangan Adi untuk naik ke motorku. Ya, kami kembali ke sekolah. Berharap Zacky sudah menunggu di sana.
Sudah hampir pukul 18.00 Wita saat kami tiba di sekolah. Opa Zacky sudah ada di teras menunggu. Tentu saja saat ini beliau pun gelisah sehingga memutuskan untuk menyusul ke sekolah. Tapi Zacky belum juga tampak. Bu Erika sudah tidak mampu menahan kekhawatirannya. Ia menangis. Antara khawatir, sedih dan marah. Karena tidak biasanya Zacky begini. Kuhampiri Bu Erika, kuusap punggungnya. Mencoba menghibur. Pikiranku kembali sibuk berusaha menemukan titik terang keberadaan zacky. Suasana sekolah sudah mulai sepi karena murid sudah banyak yang pulang.
Tiba-tiba dari arah toilet putra, keluar sesosok murid yang tidak asing lagi bagiku. Ya Allah, itu Zacky! Zacky agak tergopoh menghampiri kami yang sedang tegang duduk di teras sekolah. Opa bangkit, wajahnya terlihat marah. Ibu Erika terperangah demi melihat anaknya yang baru saja keluar dari toilet.
Wajah kami menyiratkan keheranan. Meminta penjelasan.
“Ustazah, tadi to sakit perutku. Jadi ke toiletka. Lamaka di dalam. Kudengarji namaku dipanggil lewat pelantang. Tapi nda bisaka keluar. Diare ka. Pas kurasa selesaima, langsung ma berniat keluar. Tapi baruka mau keluar toilet, kebelet ka lagi. Jadi nda jadika keluar. BAB ka lagi. Sakitna kodong perutku. Mungkin karna suda ka tadi makan somay pake sambel jadi sakitmi perutku. Minta maafka Ustazah, Ibu, Opa, kalau bikin panikki semua.” Ujarnya panjang lebar sambil mengusap-usap perutnya yang mungkin masih mules.
Oalaaah… Zacky, Zacky. Kami menarik napas lega. Ketegangan pun mencair. Wajah opa yang tadinya marah kini terlihat tenang. Adi tertawa memegang perutnya. Hanya Bu Erika saja yang masih menitikkan air mata sambil menutup mulutnya. Dipeluknya tubuh Zacky dengan penuh kasih. Terlihat betul-betul kekhawatirannya tadi. Begitulah seorang ibu, akan mudah khawatir jika terjadi sesuatu yang buruk kepada anaknya.
Mereka pamit. Tak lupa aku mengacak rambut Zacky gemas saat selesai menjabat tanganku. Dari kejauhan kulihat penjemput Adi juga sudah menunggu. Adi menjabat tanganku kemudian berlari ke arah penjemputnya. Kukendarai kembali motorku, bergegas pulang. Sayup-sayup terdengar suara salawat dari masjid. Kupercepat laju motorku, kini pasti ada hati yang lain sedang mengkhawatirkanku di rumah. Ya, siapa lagi kalau bukan suami dan anak-anakku.
Sumber: Rahmawati. 2020. Puzzle Cinta sang Guru. Makassar: Penerbit Mediaguru