PERJALANAN RAFI

“Baiklah, anak‐anak masih ada waktu 10 menit untuk menyelesaikan tugas. Bagi yang sudah selesai silakan dikumpulkan,” kata Fathimah kepada murid‐muridnya di kelas 6A.

Sebelum duduk di kursinya kembali, Fathimah melirik Rafi yang duduk di bangku paling belakang. Rafi terlihat menunduk, sibuk menulis. Fathimah mendekat ke bangku Rafi. Ada perasaan curiga dalam hatinya melihat Rafi seserius itu. Jangan‐jangan Rafi bukan sibuk menyelesaikan tugas, tapi malah sibuk menggambar karikatur lagi seperti biasanya.

Benar saja. Fathimah menarik napas berat saat tepat berada di depan bangku Rafi. Rafi belum sadar bahwa Fathimah sudah berada di depannya. Dia masih sibuk menggambar karikatur di bukunya. Sama sekali tidak ada catatan tugas di sana. Yang ada hanyalah gambar‐gambar karikatur. Sebenarnya menggambar baik. Hanya saja Rafi selalu menempatkan kegiatannya itu pada waktu yang tidak tepat.

“Rafi, tugasnya sudah selesai, ya?” tanya Fathimah yang membuat Rafi tersentak. Kepalanya mendongak. Refleks dia menutup bukunya kemudian meraih buku tugasnya. Tanpa kata, dia menulis soal‐soal yang ada di papan tulis. Fathimah menggeleng‐geleng melihat tingkah Rafi. Dia berbalik ke depan kelas.

 

“Silakan dikumpul, Nak. Waktunya sudah cukup. Silakan istirahat. Yang belum menyelesaikan, silakan diselesaikan dulu. Kalau sudah selesai baru bisa istirahat.”

Murid‐murid pun bergegas mengumpulkan tugasnya disusul langkah mereka keluar kelas. Wajah mereka menyiratkan kegembiraan yang luar biasa. Seolah‐olah di luar kelas sudah menunggu hal yang sangat menarik. Ya, apalagi kalu bukan makan dan bermain. Begitulah dunia anak sekolah. Hal yang paling ditunggu adalah saat bel istirahat berbunyi.

Namun, berbeda halnya dengan Rafi saat ini. Dia masih duduk di bangkunya. Menyelesaikan tugas yang tadinya dia abaikan. Tadinya dia berpikir bahwa kali ini Fathimah tidak akan tahu kalau dia tidak menulis. Ternyata perkiraannya salah. Justru dia harus mengisi waktu istirahatnya dengan menulis. Hilang sudah harapannya untuk segera jajan di kantin.

Begitulah Rafi. Murid pendiam yang susah sekali dibujuk untuk menulis. Dia lebih suka praktik membuat karya dan menggambar. Mata pelajaran yang dia sukai hanyalah bahasa Inggris. Untuk mata pelajaran lain, guru harus melakukan berbagai cara untuk membuatnya menulis. Kalau ditanya mengapa tidak menulis, jawabannya beragam. Pulpennya hilang, capek, terlalu banyak yang harus ditulis, tidak mengerti, dan jawaban klasik lainnya.

Sebagai wali kelasnya, Fathimah juga kerap menerima laporan dari guru‐guru lain tentang kebiasaan Rafi di kelas. Kebiasaan yang hanya menggambar saja. Bahkan, buku‐ bukunya penuh dengan gambar‐gambar yang bervariasi.

Mulai dari karikatur, tokoh‐tokoh kartun, dan gambar dinosaurus sampai gambar‐gambar planet. Dia akan paling bersemangat jika masuk pelajaran keterampilan. Karena di mata pelajaran itulah dia begitu merdeka bisa menggambar, mewarnai, ataupun membuat karya.

Fathimah mencoba untuk berbicara kepada seluruh guru yang mengajar di kelas 6A. Mereka mencari solusi bagaimana menghadapi murid yang kurang suka menulis. Akhirnya mereka menemukan ide untuk memperkaya metode dalam mengajar. Tidak melulu murid harus mendengar dan mencatat, tapi perlu ada cara kreatif yang memancing minat belajar murid. Bisa dengan diskusi kelompok, praktik, presentasi, tanya jawab, dan metode lainnya yang bisa diatur sedemikian rupa disesuaikan dengan tujuan pokok bahasan mata pelajaran.

Alhamdulillah Fathimah cukup lega karena dengan metode itu akhirnya murid lebih aktif. Begitu pun dengan Rafi. Namun, hal ini tidak berlangsung lama untuk Rafi. Karena jika sudah berurusan dengan menulis, dia akan kembali tidak bersemangat. Seakan‐akan menulis materi pelajaran adalah sesuatu momok yang menakutkan baginya.

Karena sudah terlalu banyak laporan dari guru tentang Rafi yang membuat beberapa nilainya tidak mencapai KKM, akhirnya Fathimah meminta ibunya untuk datang ke sekolah. Hal ini perlu dikomunikasikan dengan orang tua Rafi. Fathimah berharap dengan membicarakan hal ini kepada ibunya akan memberikan solusi bagi perkembangan Rafi di kelas.

Hari itu pun tiba. Ibu Rafi datang ke sekolah. Dia tersenyum ramah saat disambut hangat oleh Fathimah. Setelah berbasa‐basi, sampailah pada inti pembicaraan.

“Saya juga sudah capek Ustazah. Di rumah juga begitu. Rafi paling suka menggambar. Dia tidak terlalu suka keluar rumah kalau sudah pulang dari sekolah. Dia lebih memilih di rumah sambil menggambar. Ada baiknya juga, sih. Karena tidak perlu khawatir dengan keberadaan Rafi. Tapi begitulah Ustazah, kalau masalah belajar, susah sekali untuk diminta menulis.” Ibu Rafi mulai mengeluhkan kebiasaan Rafi di rumah. Fathimah diam berusaha menjadi pendengar yang baik.

“Kalau ada PR, dia selalu juga menyembunyikan. Syukur Ustazah selalu mengirim pesan setiap ada PR jadi dia tidak bisa mengelak. Tapi ya, begitulah Ustazah, saya harus pakai acara ceramah dulu kalau mau mendampinginya menyelesaikan PR. Itu pun selalu terjadi tawar menawar dari Rafi. Kalau soalnya 10 nomor dia akan meminta 5 nomor saja dikerjakan. Ditambah lagi harus ada iming‐iming jika selesai menulis. Minta jajan atau minta main game. Hadeh, Ustazah saya sudah tidak tahu lagi mau bagaimana mengarahkannya.” Panjang lebar Ibu Rafi menumpahkan uneg‐unegnya. Berulang kali dia menarik napas di sela‐sela pembicaraannya. Menandakan keputusasaannya.

Fathimah tersenyum mencoba mencairkan suasana, “Bu, Insyaallah kami di sekolah akan berusaha mengarahkan ananda Rafi. Saya dan guru mata pelajaran juga sudah berdiskusi tentang ini. Kita sama‐sama berdoa, Bu. Semoga ananda Rafi akan segera berubah dengan berjalannya waktu.

Kami juga akan berusaha mencari metode yang tepat agar Rafi bisa lebih bersemangat dalam pembelajaran terutama dalam hal menulis. Namun kami juga butuh bantuan ibu. Mohon ibu jangan berhenti untuk mendampingi ananda di rumah. Beri motivasi agar semangatnya tidak kendor. Satu hal yang paling penting, doa. Doakan ananda di setiap salat, Bu. Karena doa seorang ibu kepada anaknya dikabulkan oleh Allah Taala. Mungkin hanya persoalan waktu saja, Bu. Allah ingin melihat sejauh apa usaha kita dalam mengarahkan Rafi.”

Nasihat Fathimah terasa sejuk merasuk dalam hati Ibu Rafi. Terlihat matanya kembali bersinar. Ada harapan di sana. Harapan terhadap perubahan anaknya.

“Terima kasih banyak Ustazah. Ustazah telah membesarkan hati saya. Saya juga mohon maaf kalau sikap Rafi sudah membuat para guru menjadi repot,” ujarnya pelan.

“Tidak, Bu. Sama sekali tidak merepotkan. Itu sudah menjadi kewajiban kami sebagai gurunya,“ kata Fathimah sambil menggeleng.

Setelah dirasa pas dalam berbincang‐bincang, Ibu Rafi pun pamit.

“Kalau begitu, saya pamit dulu ya, Ustazah. Sekali lagi, terima kasih Ustazah.” Ibu Rafi meninggalkan kantor sekolah. Fathimah menatap punggung Ibu Rafi hingga menghilang di balik tembok koridor kelas.

Begitulah Rafi. Tidak banyak yang berubah. Kadang dia bersemangat menulis kadang semangatnya hilang lagi. Guru‐guru pun sudah paham. Mungkin hanya seperti itu yang bisa lakukan. Padahal sebenarnya Rafi cukup cerdas. Hanya saja minat menulisnya yang masih butuh distimulus.

Fathimah tetap optimis bahwa Rafi pasti akan berubah. Walaupun dia tidak tahu kapan. Bisa jadi saat SMP, SMA atau kapan pun. Hanya Allah yang tahu. Sebagai gurunya, Fathimah selalu menyelipkan doa kebaikan untuk seluruh murid‐muridnya. Guru hanyalah manusia yang bisa menunjukkan jalan kepada muridnya. Adapun murid mau atau tidak berjalan pada jalan itu, semua atas kehendak Allah Ta’ala.

Beberapa Tahun Kemudian

Perjalanan hidup anak manusia tidak ada yang bisa memastikannya. Sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam bayangan manusia bisa saja terjadi jika Allah berkehendak. Seperti saat ini, Fathimah sedang berbicara dengan Ibu Rafi melalui telepon seluler. Mereka berdua melepas rindu karena sudah kehilangan kontak selama bertahun‐tahun. Tentu saja karena aktivitas keseharian yang cukup menyita waktu.

Fathimah dibuat takjub saat Ibu Rafi bercerita tentang perkembangan Rafi saat ini. Rafi sekarang kuliah di salah satu universitas terkenal di Kuala Lumpur. Rafi mengambil jurusan software security system. Saat ini sedang masuk semester enam. Pernah juga dia diberi kesempatan dari kampusnya untuk ikut pertukaran pelajar di Jepang. Kemampuan bahasa Inggris, bahasa Jepang, dan IT‐nya sangat berkembang pesat. Tahun ini Rafi lulus mewakili Kuala Lumpur untuk ikut sidang Simulasi PBB di New York.

Dengan kemampuannya dalam IT, Rafi sudah bisa mendapatkan penghasilan sendiri. Di Kuala Lumpur, dia bersama dengan kakaknya. Mereka kuliah di universitas yang sama.

Begitulah kehidupan. Allahlah yang mengatur segala kejadian di muka bumi ini. Allah mudah mengubah sesuatu sesuai kehendak‐Nya. Termasuk kehidupan Rafi di masa depannya. Tidak ada yang menyangka, bahkan ibunya sendiri pun kadang tidak percaya bahwa Rafi bisa seperti sekarang.

Sebagai gurunya, Fathimah ikut bahagia mendengar kabar Rafi. Teringat dulu dia yakin bahwa Rafi pasti akan berubah menjadi lebih baik. Entah saat SMP, SMA, atau kapan pun sesuai kehendak Allah. Kini keyakinannya telah menjadi nyata. Pelajaran berharga dia dapatkan dari Rafi adalah jangan pernah berputus asa dalam mengarahkan murid. Berusahalah semaksimal mungkin. Biarkan Allah yang menentukan hasilnya.

Fathimah berharap, dengan keberhasilan Rafi saat ini akan semakin membuat Rafi menjadi anak yang saleh dan berguna bagi agama dan bangsa.

_________________

Sumber: Rahmawati.2020. Puzzle Cinta sang Guru. Makassar: Penerbit Mediaguru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *