Namanya Iffah Wardani. Murid kelas 4B. Aku mengajarkan mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelasnya. Pertama kali melihatnya, aku sudah merasa suka. Dia murid yang sopan, ramah, peduli pada orang lain dan juga peduli pada kebersihan dan kerapian kelas.
Setiap aku masuk di kelasnya, dia selalu menawarkan bantuan. Seperti menghapus papan tulis, membagikan soal, sampai membawakan tasku ke kantor. Karena kekagumanku, terlintas dalam pikiranku untuk memberinya hadiah. Guru memberi murid hadiah? Memang tidak boleh? Justru itulah salah satu caraku dalam mendidik. Bukan hanya kepada murid yang aku kagumi. Bahkan, kepada murid yang kurang motivasi belajarnya, kadang aku memberikannya hadiah. Ini aku lakukan semata‐mata untuk lebih mempererat hubungan antara guru dan murid. Hadiahnya tidak mesti sesuatu yang mahal. Apa saja yang kira‐kira disukai murid. Selama ini, murid selalu senang jika diberikan hadiah walaupun hanya sebungkus permen.
Benar saja, kesempatan itu datang. Waktu itu aku mengajar di kelasnya. Kulihat dia belum memiliki buku paket Bahasa Indonesia. Aku yakin dia bukan tidak punya uang karena aku mengetahui kondisi ekonomi orang tuanya. Mereka termasuk orang yang berada dari segi ekonomi. Mungkin belum sempat saja untuk membeli.
Saat pembelajaran berakhir aku memanggilnya dan mengajaknya ke kantor. Aku membelikannya buku paket. Dia menerima buku itu dengan wajah diliputi keheranan. Namun aku hanya berucap, “Ini hadiah dari Ustazah. Jangan bilang‐ bilang kepada siapa pun, ya! Semoga buku ini bermanfaat.”
”Terima kasih, Ustazah,” ucapnya seraya mengangguk dan tersenyum.
Dua tahun berlalu. Dia dan teman‐temannya naik kelas 6B. Yang menggembirakan, ternyata aku diamanahkan untuk menjadi wali kelas 6B, kelasnya Iffah Wardani. Tahun kemarin saat dia kelas 5 aku tidak memiliki jam mengajar di kelasnya sehingga aku tidak lagi mengikuti perkembangannya. Apa kabarnya dia selama setahun belakangan? Kuharap dia semakin baik akhlaknya.
Di kelas 6, aku mengangkatnya menjadi ketua kelas karena dia juga memiliki kemampuan dalam kepemimpinan. Aku semakin kagum dengan karakter yang dia miliki. Dia anak yang sangat sederhana dan bersahaja. Padahal orang tuanya bisa saja memberikan banyak fasilitas padanya. Selain itu, dia juga pandai dalam bergaul. Dia tidak membeda‐bedakan teman. Sikapnya selalu baik kepada siapa pun. Dari segi fisik, orangnya juga cantik dan manis. Dalam hal akademik juga masuk peringkat tiga besar di kelas. Sempurna. Itu kata yang pantas untuknya. Ya, walaupun aku tahu bahwa setiap orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, tetapi dengan kelebihannya itu, dia mampu menutupi kekurangannya. Masyaallah, segala puji hanya bagi Allah.
Sebagai ketua kelas, dia mampu memimpin teman‐temannya. Saat teman‐teman ada yang bertengkar, dia mampu menjadi penengah. Dia juga mampu memosisikan dirinya ketika berinteraksi dengan teman‐teman yang berbagai macam karakter. Teman‐temannya pun sangat menghormati Iffah sebagai ketua kelas. Mereka sangat akrab satu sama lain.
Hari terus berganti. Tak terasa mereka sekelas sudah lulus SD. Kebersamaan dengan mereka memberikan kesan yang sangat berarti. Aku memang gurunya. Namun, sesungguhnya aku banyak belajar dari mereka. Dari mereka aku belajar arti sebuah kesabaran, tanggung jawab, dan sikap mengayomi.
Tiga tahun setelah mereka lulus, tepatnya tahun lalu, tahun 2019, aku mengajaknya untuk mengikuti Pelatihan Menulis Buku yang diadakan oleh Penerbit Mediaguru dengan tajuk Satu Guru Satu Buku (SAGUSABU) dan Satu Siswa Satu Buku. Pelatihan ini dilaksanakan di di Aula Badan Diklat PURP Wil.VIII No. 19, Mariso, Makassar.
Bukan tanpa alasan aku mengajaknya. Aku tahu betul bahwa dia memiliki bakat menulis sehingga aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini untuk mengajaknya. Selain Iffah Wardani, aku juga mengajak beberap teman‐temannya yang memang juga memiliki minat dan bakat menulis. Aku berharap melalui pelatihan ini, kemampuan mereka bisa semakin diasah lebih tajam sehingga bisa menghasilkan karya yang spektakuler.
Benar saja, sebulan setelah pelatihan, Iffah Wardani dan beberapa temannya berhasil menerbitkan bukunya. Masyaallah betapa bahagianya aku sebagai gurunya melihat mereka bisa menjadi penulis buku. Di usianya yang masih muda. Masih kelas 3 SMP, sudah bisa menerbitkan buku karya sendiri.
Aku sangat berharap keberhasilan yang mereka dapatkan bisa menjadi ladang pahala bagi mereka. Dengan menulis, mereka bisa menyerukan kebaikan. Semoga saja memberikan manfaat yang besar bagi diri, orang tua, dan masyarakat secara umum. Selamat ya, muridku!
_________________
Sumber: Rahmawati.2020. Puzzle Cinta sang Guru. Makassar: Penerbit Mediaguru