MOVE ON

Aku termenung menatap langit‐langit kamarku. Malam ini aku tidak bisa tidur. Padahal malam sudah begitu larut. Berulang kali aku membolak‐balikkan badan mencari posisi senyaman mungkin, tetapi belum bisa membuat kantukku datang. Kulirik suami di sebelahku. Dari tadi dia sudah terlelap dalam tidurnya.

Ada satu masalah yang mengganjal dalam pikiranku. Teringat kembali pembicaraanku dengan Ustazah Maimunah siang tadi di sekolah. Aku tidak menyangka muridku yang baru sebulan ini menjadi amanahku di kelas empat akan mengadu kepada Ustazah Maimunah, wali kelasnya saat kelas tiga. Katanya, mereka kecewa dengan sikapku yang selalu membanding‐bandingkan mereka dengan kelas 4B1.

“Mungkin maksudmu baik, Ustazah. Hanya saja muridmu tidak menangkap maksudmu yang sebenarnya. Mereka justru menangkap sikapmu yang membanding‐bandingkan kelas 4B1 dengan 4B2. Cobalah untuk lebih menerima kelebihan muridmu saat ini! Aku paham bahwa kelas 4B1 adalah muridmu tahun lalu. Pasti banyak kelebihan mereka yang sudah kau pahami. Sama dengan kelas 4B2 sekarang, mereka tahun lalu adalah muridku jadi aku juga tahu kondisi mereka,” ujar Ustazah Maimunah dengan suara pelan.

“Tapi Ustazah, aku tidak bermaksud membandingkan mereka. Aku hanya ingin mereka meniru kebaikan yang dimiliki kelas lain. Aku ingin muridku bisa disiplin seperti kelas lain yang disiplin. Aku ingin mereka menjadi murid yang taat dan patuh pada guru. Aku ingin mereka…”

“Itu memang baik, “Dia memotong pembicaraanku. “Semua keinginanmu itu baik. Tetapi, apakah kamu pernah memikirkan apa keinginan mereka? Apa pendapat mereka?” tanyanya menatap mataku.

Aku terdiam. Sejak sebulan ini aku resmi menjadi walikelas 4B2, aku memang tidak pernah meminta saran dari muridku. Yang ada, aku selalu membuat aturan‐aturan di dalam kelas. Mana yang boleh mana yang tidak boleh mereka kerjakan. Aku rasa memang seperti itulah tugas guru. Harus memastikan bahwa murid melakukan semua yang sudah menjadi aturan di kelas ataupun di sekolah.

Ustazah Maimunah melanjutkan, “Tahu tidak apa saja yang mereka sampaikan padaku? Mereka bilang, Ustazah pilih kasih. Lebih sayang muridnya yang tahun lalu dibanding yang sekarang. Mereka bilang ustazah selalu memuji kelas 4B1 dibanding kelas 4B2. Mereka cemburu, Ustazah. Mereka juga ingin dianggap baik olehmu.“ Aku masih terus diam mendengarkan. Mencoba mencerna setiap kata yang dia sampaikan.

“Saranku, cobalah berbicara dari hati ke hati dengan para muridmu. Dengarkan apa yang mereka rasakan. Apa yang mereka inginkan. Mereka sudah kelas empat, sudah sangat pantas diajak berdiskusi. Buatlah aturan yang semuanya didiskusikan dengan segala konsekuensinya sehingga murid betul‐betul menerima aturan itu sebagai hasil musyawarah. Selain itu, secara tidak langsung mereka berlatih tentang tanggung jawab jika keputusan aturan itu diputuskan secara bersama‐sama,“ jelasnya panjang lebar.

Ah, apa iya selama ini aku telah membanding‐bandingkan mereka? Ingatanku pun berkelana pada setiap peristiwa yang terjadi di kelasku.

Pernah suatu ketika, aku mengajar di kelas. Suasana sangat gaduh. Sudah beberapa kali aku minta mereka tenang tetapi keadaan kelas semakin riuh. Aku langsung berkata, “Nak, coba tiru kelas 4B1. Mereka itu sejak tahun lalu sangat tenang kalau Ustazah menjelaskan di depan kelas. Mereka tak satu pun yang berani berbicara kalau Ustazah sedang menjelaskan.”

Sontak saja wajah mereka menjadi cemberut. Terutama Azizah sekretaris kelas 4B2. Dia memang paling ekspresif dibanding teman‐temannya yang lain. Aku senang karena setelah mengatakan itu, mereka langsung diam. Saat itu aku berpikir mereka membenarkan perkataanku.

Pernah juga aku menceritakan kepada muridku kreativitas yang dimiliki kelas 4B1. Mereka pintar dalam membuat karya kerajinan tangan, membuat poster, bahkan bercerita di depan kelas. Aku terus saja memuji mereka di hadapan muridku karena mereka memang layak mendapatkan pujian. Aku ingin kelebihan mereka bisa menjadi contoh untuk muridku saat ini.

Aku ingat, pernah juga beberapa murid kelas 4B1 datang ke kelasku saat istirahat. Mereka dengan penuh suka cita mengunjungiku. Kami bercanda dan tertawa bersama. Sementara di dalam kelas, muridku hanya menatap kami tanpa bicara. Saat itu aku berpikir mereka pasti paham karena kelas 4B1 adalah muridku tahun lalu.

Tak kusangka, ternyata mereka cemburu dengan semua perlakuanku. Hhmm, aku telah khilaf. Sungguh aku tidak sengaja melakukan ini semua. Niatku hanya satu selama ini, membuat muridku bisa menjadi baik dengan melihat kelebihan kelas lain. Ternyata di balik tujuanku itu, ada akibat yang cukup fatal. Parahnya, aku tidak menyadari. Justru muridkulah yang menyadarinya. Yaa rabb, ampuni atas segala khilafku. Aku berjanji akan meluruskan sikapku yang keliru ini. Apalagi dua pekan depan sudah masuk bulan Ramadhan, itu artinya akan ada libur untuk menyambut bulan Ramadhan. Jadi sebelum libur aku harus sudah memperbaiki hubunganku dengan para muridku.

Kulirik jam dinding, sudah pukul 01.00. terdengar suara tiang listrik dipukul oleh penjaga keamanan. Sudah dini hari rupanya. Aku harus segera tidur. Tidak sabar rasanya bertemu dengan murid‐muridku di kelas.

Di Kelas 4B2

Pagi ini, aku memasuki kelas dengan menampakkan wajah yang berseri‐seri. Sedapat mungkin aku memperlihatkan wajah yang ramah pada mereka. Walaupun sebenarnya setiap hari aku memang selalu berusaha untuk berwajah ramah. Namun kali ini, aku harus mempertegasnya. Hari ini aku berusaha untuk melihat segala kelebihan mereka. Berusaha mengenali karakter mereka. Memuji sikap baik mereka. Masyaallah, aku melihat binar‐binar bahagia di mata mereka.

Aku mengajak mereka untuk menata ulang segala peraturan kelas. Terjadilah adu argumen. Perbedaan pendapat. Kami memutuskan secara bermusyawarah. Menimbang kelemahan dan kelebihan setiap poin‐poinnya. Hasilnya begitu luar biasa. Mereka betul‐betul mengagumkan.

Benar saja, jika guru pandai memantik kecerdasan muridnya, kecerdasan itu akan tampak di permukaan. Berbagai karakter mereka menjadi sebuah perpaduan yang cemerlang. Ada Azizah yang kritis, Halimah yang kalem, Hasna yang penuh ide, Maryam yang humoris, Adinda yang penuh semangat, Ulya yang cerewet, dan lainnya yang memiliki kelebihan berbeda.

Ya, fokuslah pada kelebihan mereka. Jangan fokus pada kekurangan mereka. Kelak kelebihan itulah yang akan menutupi kekurangannya.

Hari‐hari pun kami lalui dengan keakraban yang sangat berarti. Aku harus menunjukkan kepada mereka bahwa aku menerima mereka dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka. Sebagai gurunya, aku harus mampu mengembangkan dan mengarahkan kelebihan yang mereka miliki sehingga bisa berguna bagi diri mereka sendiri dan juga untuk orang lain.

_________________

Sumber: Rahmawati.2020. Puzzle Cinta sang Guru. Makassar: Penerbit Mediaguru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *