“Ustazah, kepalaku sakit. Sepertinya saya tidak bisa menulis.” Imran menghampiriku sambil memegang kepalanya. Kulepaskan pulpenku yang sedari tadi kupakai untuk memeriksa hasil tugas murid. Kuraba keningnya. Hmmm, tidak demam.
“Pusing sekali, Ustazah,” tambahnya lagi berusaha meyakinkanku.
“Imran mau pulang?”
“Tidak usah, Ustazah.”
“Ustazah bawa Imran ke kantor saja ya? Biar Imran istirahat di sana,” ajakku.
“Tidak usah Ustazah. Imran mau istirahat di bangku saja.”
“Baiklah, Nak, silakan. Kalau Imran merasa sakitnya semakin bertambah, beritahu ustazah ya! Nanti Ustazah telepon Ibu.”
“Iya Ustazah.”
Imran kembali ke bangkunya. Kualihkan kembali perhatianku pada buku‐buku periksaanku. Memeriksa kalimat demi kalimat. Menandai yang masih perlu perbaikan. Memberikan kata‐kata pujian bagi yang mendapatkan nilai terbaik. Memberikan kata motivasi bagi murid yang masih ada kesalahan pada tugasnya.
“Baiklah, anak‐anak, Ustazah akhiri pelajaran kita hari ini. Mohon ketua kelas membagikan buku‐buku ini. Kita akhiri pertemuan kita, assalamu’alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh.”
“Wa’alaikumus salam wa rahmatullahi wa barakatuh,” sahut mereka berbarengan.
Aku keluar dari kelas 6A. Kulangkahkan kaki ke kantor khusus ustazah. Kulirik jam yang terpasang di dinding koridor kelas. Pkl. 11.10. Masih ada waktu untuk salat Duha. Kebetulan sekarang aku sedang free mengajar. Setelah salat Zuhur baru ada jam mengajar lagi.
Alhamdulillah, tenang rasanya hati jika sudah bermunajat kepada Allah. Menumpahkan seluruh keluh kesah di hamparan sajadah. Merasakan betapa rendah diri ini di hadapan‐Nya. Mengharap ampunan dan rida‐Nya.
Aku teringat kembali dengan Imran. Bukan pertama kali ini dia mengeluh pusing. Ini sudah ketiga kalinya sejak sebulan terakhir. Jika diminta untuk pulang, dia selalu menolak. Katanya percuma juga dia pulang, karena di rumah tidak ada siapa‐siapa. Ibunya bekerja di salah satu toko buku, begitu pun ayahnya juga bekerja di perkantoran yang ada di kota ini. Mereka termasuk keluarga yang cukup berada. Imran adalah anak kedua dari tiga bersaudara.
Selain sering mengeluh sakit kepala, dia juga beberapa kali kudapati tertidur di bangkunya. Bukunya bersih. Tidak menulis satu kata pun. Saat kutanya, dia hanya menggeleng lemah. Tidak bersemangat.
Aku sudah mengomunikasikan hal ini kepada ibunya melalui buku penghubung murid. Aku mencoba memberikan saran kepada ibunya untuk mengecek kesehatan Imran ke dokter. Jangan sampai sakitnya itu semakin menghalanginya dalam menghadapi proses pembelajaran di kelas.
Besoknya, aku mendapatkan balasan dari Ibu Imran di buku penghubung. Tulisannya acak‐acakan. Cukup lama aku pandangi tulisan itu. Berusaha membacanya. Aku merasa Ibu Imran sengaja menulis dengan tidak rapi. Bisa jadi agar Imran tidak bisa membaca tulisan ibunya. Ini bertujuan untuk menjaga perasaannya. Aku tersentak setelah berhasil membaca catatan itu. Hanya beberapa kalimat tapi sanggup membuatku terhenyak lama. Ibu Imran berkata bahwa, Imran tidak sakit. Dia hanya stres. Stres mengetahui bahwa ayahnya mau menikah lagi. Ya Rabb, aku tidak tahu mau berkomentar apa.
Sepertinya aku harus bertemu langsung dengan Ibu Imran. Ini harus kami bicarakan. Aku tidak mau beban pikiran Imran semakin berat. Imran sudah kelas 6, sebentar lagi dia akan menghadapi ujian akhir. Jika kondisi hatinya tidak menentu seperti sekarang ini, aku tidak yakin dia mampu melewatinya dengan baik. Tanpa berpikir panjang lagi aku menulis pesan di bawah catatan Ibu Imran. Memintanya untuk ke sekolah membicarakan hal ini.
Tepatnya pekan lalu. Ibu Imran datang ke sekolah. Sesuai permintaanku. Beliau datang ditemani adik Imran yang berusia sekitar tiga tahun. Dengan penuh kesabaran beliau meladeni setiap celoteh anaknya. Kami hanya bertiga di kantor. Para guru sedang mengajar. Sedangkan aku masih free sampai dua jam ke depan.
Selama pembicaraan kami, aku melihat kegetiran di matanya. Beliau berusaha menutupi kesedihannya dengan sesekali tersenyum saat bercerita. Wanita mana pun pasti akan terluka jika tiba‐tiba saja suaminya memberitahukan bahwa dia mau menikah lagi. Seorang istri pasti ingin tahu sebabnya. Apakah Istri selama ini tidak mampu memberikan yang terbaik sehingga suami ingin menikah lagi? Ataukah suami sudah merasa bosan terhadap istrinya?
“Ustazah, pernah saya sampaikan kepada ayahnya Imran bahwa saya tidak melarangnya menikah lagi. Itu sunnah. Memang ada syariatnya dalam agama kita. Walaupun secara pribadi, sebenarnya saya cukup terpukul juga dengan keinginan ayah Imran. Namun, untuk kondisi sekarang saatnya belum tepat. Anak‐anak masih butuh perhatian penuh ayahnya. Sekarang saja, ayahnya sudah sangat sibuk bekerja di kantor. Pergi pagi pulang sore, bahkan kadang pulang malam kalau pekerjaannya belum selesai. Padahal saya sangat berharap beliau bisa meluangkan waktu bersama‐sama dengan anaknya. Setidaknya menanyakan aktivitas sekolahnya atau sekadar duduk bersama di sore hari di teras rumah.”
Aku menyimak dengan baik. Kutarik napasku yang terasa berat. Mencoba merasakan beban batin yang dirasakan ibu Imran.
“Tapi ya, saya pasrah saja Ustazah. Yang jelasnya saya berusaha untuk mengingatkan ayahnya untuk memperhatikan anak‐anaknya. Kalaupun suatu saat nanti ayahnya betul‐betul menikah lagi. Aku hanya berharap semoga istrinya bisa memberikan pengaruh baik kepada ayahnya Imran.“ Duh, Ibu Imran tegar sekali masyaallah. Aku jadi terharu.
“Ustazah, saya mau minta tolong,” ujarnya sambil menyentuh tanganku. Kubalas menggenggam tangannya. Memberikan isyarat bahwa aku siap menolongnya semampuku.
“Mohon bimbing anakku, Imran. Beri dia motivasi. Bangkitkan semangatnya. Saya yakin, Imran sangat mendengar perkataan ustazahnya. Setidaknya dia akan menghormati setiap kata‐kata Ustazah,” ujarnya dengan penuh harap.
“Insyaallah, Bu! Aku akan berusaha. Sebagai wali kelasnya, ini juga sudah menjadi kewajibanku dalam mengarahkan ananda Imran. Ibu yang sabar ya, Bu. Semoga Allah memberikan kemudahan atas segala urusan Ibu. Selain itu, mohon tetap perhatian ibu kepada ananda Imran. Mohon bantu untuk selalu memotivasinya di rumah. Insyaallah kita sama‐sama dalam mengarahkannya. ”
Begitulah pertemuanku dengan Ibu Imran pekan lalu. Sosok ibu yang tegar. Berusaha menerima segala ketetapan Allah padanya.
Allah Maha kuat. Allah Mahatahu. Allah Maha bijaksana. Hanya kepada‐Nyalah kita meminta kekuatan atas segala persoalan yang kita hadapi. Dia Tahu apa yang terbaik untuk hamba‐Nya. Berdoa dan berusaha adalah langkah yang tepat untuk keluar dari setiap permasalahan.
_________________
Sumber: Rahmawati.2020. Puzzle Cinta sang Guru. Makassar: Penerbit Mediaguru