SISI HATI FAUZI

Suasana Rumah Sakit Haji sudah tidak terlalu ramai. Sekarang aku sedang duduk di ruang tunggu apotek untuk menebus obat. Dari kejauhan, kulihat suamiku berdiri di taman sambil menggendong Putri, anak kami. Sesekali dia menepuk‐nepuk punggung Putri. Sudah sejam Putri rewel. Aku paham, pasti dia sudah mengantuk karena kami berada di rumah sakit ini sejak pagi. Sedangkan sekarang sudah pukul 11.30 Wita. Tentunya dia sudah sangat mengantuk.

Aku menarik napas panjang. Kualihkan pandanganku ke arah suster yang hilir mudik. Pikiranku beralih ke sekolah tempatku mengajar. Aku sedikit khawatir, apakah proses belajar mengajar hari ini akan lancar‐lancar saja atau tidak. Pasalnya, sudah dua bulan ini di kelasku, kelas 6A ada murid pindahan dari kota lain.

Namanya Fauzi. Sebenarnya dia termasuk murid yang mudah menyerap materi pelajaran. Hanya saja, dia sering memunculkan kreativitas bukan pada tempatnya. Misalnya, bernyanyi pada saat pembelajaran berlangsung, keliling kelas seperti mandor, menanyai teman‐temannya dengan hal yang tidak begitu penting sehingga temannya merasa terganggu, serta keluar masuk kelas dengan tujuan yang tidak jelas. Tidak hanya itu, dia juga kerap tidak menyelesaikan tugas dari guru.

Wajar saja, banyak guru mata pelajaran mengeluh tentang sikap Fauzi. Aku sebagai guru kelasnya sudah beberapa kali menasihatinya. Namun, sampai saat ini masih jauh dari yang diharapkan. Sesaat setelah dinasihati, dia akan menjadi murid yang patuh, tetapi beberapa hari kemudian sikapnya kembali semaunya. Aku harus mencari solusi dari permasalahan ini. Kalau perlu aku harus bicara dari hati ke hati dengannya. Siapa tahu ada hal yang tidak disukainya selama pindah bersekolah di sini.

Pernah suatu ketika aku betul‐betul dibuatnya kesal. Baru kemarin aku memanggilnya ke kantor untuk menanyakan alasannya tidak menyelesaikan tugas, besoknya kembali terulang. Menurut laporan Ustazah Nurhidayah, Fauzi sama sekali tidak menyelesaikan tugasnya. Dia hanya mondar‐mandir di kelas, mengusili teman‐temannya. Saat aku tanya apa penyebab sehingga dia tidak menulis, dia hanya tertawa dan berkata pulpennya hilang. Astagfirullah. Aku menggeleng kepala. Gemas melihat wajahnya yang seakan merasa tak bersalah. Sabar, aku harus sabar. Ini peluang pahala. Jangan terpancing emosi.

Pekan lalu, Ustazah Dian melapor lagi bahwa Fauzi menghilang saat pelajaran IPS. Tadinya Fauzi izin ke toilet, tetapi sampai pembelajaran selesai dan akan berganti dengan pelajaran lainnya, Fauzi tak kunjung kembali ke kelas. Aku yang saat itu sedang di kantor langsung saja mencari Fauzi di area sekolah.

Aku terkejut, ternyata Fauzi berada di depan TK, samping sekolah. Dengan wajah kubuat marah, aku memintanya kembali ke kelas. Dia hanya tertawa cengar‐cengir. Dengan cepat dia berlari menuju lantai dua. Kulihat dia membuka pintu dan masuk ke kelasnya. Ah, semoga saja dia bisa belajar dengan baik.

Aku tersentak dari lamunanku saat kudengar suara petugas loket apotek memanggil antrean resep obat Putri. Aku langsung berdiri menghadap petugas itu. Kuterima satu kantong obat darinya. Obat yang sama sejak tiga bulan lalu. Qadarullah, anakku Putri divonis mengidap penyakit bronchitis di usianya yang baru setahun lebih.

Aku memanggil suamiku yang masih berada di taman. Mengajaknya pulang. Kulihat Putri sudah tidur dalam gendongannya. Kuraih tubuh kurusnya. Gantian aku yang menggendongnya karena abinya yang akan mengendarai motor. Membawa Putri ke penitipan anak kemudian mengantarku ke sekolah untuk melanjutkan pembelajaran. Ya, karena aku guru sehingga ketua yayasan tempatku mengajar memberikan subsidi setiap anak guru untuk dititipkan di penitipan anak. Ini bertujuan agar guru mampu berkonsentrasi dalam proses belajar mengajar di sekolah. Aku sudah melobi beberapa guru tadi pagi untuk menggantikanku mengajar sampai aku kembali dari rumah sakit.

Dalam perjalanan pulang, kesedihan kembali menyeruak dalam dada saat mengingat Putri kecilku yang harus berobat selama enam bulan. Di awal‐awal sakitnya, hampir setiap pekan kami ke dokter karena demam dan batuknya yang tak kunjung reda. Bahkan, dalam sebulan bisa dihitung jari kondisi sehatnya. Oleh karena itu, dokter pun menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lengkap. Setelah berbagai macam pemeriksaan, akhirnya anakku Putri diharuskan berobat selama enam bulan penuh untuk mengobati penyakitnya, bronchitis.

Aku sempat khawatir jika penyakit anakku ini bisa menulari teman‐teman sepermainannya di penitipan anak. Namun, dokter memberikan penjelasan bahwa penyakit ini tidaklah bisa menular ke orang lain. Berbeda jika penderitanya orang dewasa. Satu hal yang membuatku terhibur, dokter mengatakan bahwa dengan rutin berobat dan menjaga pola makannya, anakku akan sembuh dengan izin Allah. Alhamdulillah aku lega. Kesedihanku sedikit berkurang.

Azan berkumandang saat aku menginjakkan kaki di depan sekolah. Setelah menjabat tangan suamiku, aku bergegas ke kelas karena harus mengarahkan murid ke masjid untuk melakukan salat Zuhur berjamaah. Belum lagi aku sampai di kelas, Aldi tergopoh‐gopoh menghampiriku.

“Ustazah, Fauzi menyiram air satu ember di dalam kelas,” ucapnya dengan nafas tersengal.

“Apa? Kok Bisa?” tanyaku heran. Kami bergegas melangkahkan kaki.

Mataku seketika melotot demi melihat air yang banyak tergenang di lantai kelas. Hanya ada beberapa murid di sana. Sebagian sudah pergi ke masjid. Tak kulihat Fauzi. Mungkin dia juga sudah berada di masjid. Dengan helaan napas yang semakin berat, aku berusaha menahan diri dari rasa jengkel yang mulai terasa.

“Kalian segera ke masjid untuk salat, ya! Nanti kita bicarakan setelah salat.” Kuminta Aldi dan teman‐temannya pergi ke masjid.

Aku duduk menatap lantai yang basah. Aku berniat untuk membiarkannya seperti itu. Fauzi harus bertanggung jawab dengan perbuatannya. Namun, kalau itu aku lakukan, otomatis jam istirahat akan terpakai dan murid lain akan merasa terganggu dengan genangan air yang cukup banyak ini.

Tanpa berpikir panjang lagi, aku meraih sapu dan kain pel. Tak kupedulikan rasa lelahku yang seharian di rumah sakit. Aku membersihkan kelas itu dengan cepat. Berharap semuanya sudah bersih saat muridku pulang dari masjid.

Benar saja. Baru saja lantai kelas itu bersih, tepat saat aku merenggangkan otot‐otot pinggangku, terdengar suara langkah ramai menuju kelas. Amir, masuk lebih dulu. Dia menghampiriku dan melaporkan kejadian itu. Teman‐temannya pun tak tinggal diam. Berusaha juga memberikan keterangan. Rupanya Fauzi marah karena Yahya, Umair, dan Rudi mengejeknya. Menurut Amir, Fauzi lebih dulu mengejek mereka. Mereka merasa tidak terima. Akhirnya mereka balas mengejek Fauzi. Fauzi yang merasa dikeroyok ejekan teman‐temannya, akhirnya pergi ke toilet. Dia mengangkat seember air dan menumpahkannya di kelas.

“Ustazah minta semuanya silakan istirahat di luar. Biarkan ustazah, Fauzi, Yahya, Umair, dan Rudi tinggal di kelas,” ujarku. Satu per satu mereka pun keluar kelas. Tinggallah kami berlima.

“Anakku, apakah kalian sudah puas melampiaskan kemarahan kalian? Yahya, Umair, Rudi, kalian sudah puas balas mengejek Fauzi?” Kutatap mereka yang semakin dalam menundukkan kepalanya.

“Fauzi, sudah puas melampiaskan marah dengan menyiram air di lantai kelas?” pandanganku kualihkan pada Fauzi yang juga tertunduk. Mereka diam.

“Anakku, kalian tahu? Ustazah baru saja tiba dari rumah sakit. Membawa Putri berobat. Bukankah kalian juga sudah tahu bahwa setiap dua pekan sekali Ustazah harus ke dokter untuk menyambung obat Putri? Ustazah sangat sedih, Nak. Melihat Putri yang menderita karena sakitnya. Kalian tahu Nak? Ustazah sangat lelah hari ini. Sedari pagi Ustazah harus mengantre di rumah sakit. Bahkan, saat ini ustazah belum salat dan makan siang karena harus membersihkan kelas ini.”

Mereka saling menatap. Mungkin bukan hal yang tepat aku menceritakan kepedihanku pada mereka. Namun, aku ingin memberitahu mereka bahwa gurunya yang sedang berada di hadapannya ini juga manusia yang memiliki sisi kesedihan. Aku ingin menyentuh hati mereka. Membuka sisi lembut hatinya.

“Kalau dengan melampiaskan kemarahan seperti tadi membuat kalian puas, maka Ustazah ucapkan selamat. Karena telah berhasil menambah kesedihan Ustazah hari ini.”

“Maaf, Ustazah.” Terdengar suara Fauzi lirih.

”Kami juga Ustazah, maaf,” ucap Yahya yang disusul Umair dan Rudi sambil menganggukkan kepalanya.

“Fauzi, sudah berulang kali Ustazah memberimu pengarahan, Nak. Namun, Ustazah belum melihat kesungguhanmu dalam memperbaiki diri. Sekarang, ayo bilang sama Ustazah, apa sebenarnya yang Fauzi mau? Fauzi pindah ke sekolah ini karena ingin menjadi anak yang saleh, bukan? Coba tunjukkan pada Ustazah. Buktikan kalau Fauzi bisa menjadi orang yang saleh. Menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain sehingga bisa memasukkan ayah dan bunda ke surga‐Nya.”

“Iya, Ustazah. Maafkan Fauzi. Fauzi Janji tidak akan nakal lagi.”

“Alhamdulillah.” Entah ke mana rasa lelah dan laparku. Saat melihat kesungguhan di mata Fauzi, aku kembali menaruh harapan besar padanya untuk bisa berubah menjadi anak yang jauh lebih laik.

Dua Tahun Kemudian

Aku menatap haru sosok Fauzi yang berada di atas panggung bersama beberapa temannya. Mereka sedang tampil membawakan puisi dan nasyid sebagai persembahan di acara perpisahan. Ya, mereka telah lulus dari sekolah ini. Tak terasa air mataku menetes. Kini Fauzi benar‐benar berubah. Dia telah menunaikan janjinya untuk menjadi murid yang baik. Tak ada lagi Fauzi yang usil. Tak ada lagi Fauzi yang malas. Dia telah berubah menjadi Fauzi yang rajin, menjadi Fauzi yang selalu menawarkan bantuan kepada guru ataupun murid lain, menjadi Fauzi yang penuh keceriaan dan canda tawa, menjadi Fauzi yang sangat dekat dengan guru, dan menjadi Fauzi yang terus berusaha istikamah dalam kebaikan.

Inilah puncak kebahagiaan seorang guru. Saat muridnya bisa menjadi lebih baik. Sungguh kebahagiaan ini tidak bisa ditukar dengan kemewahan dunia apa pun.

_________________

Sumber: Rahmawati.2020. Puzzle Cinta sang Guru. Makassar: Penerbit Mediaguru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *